PROBLEM OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS

Tujuan:
Materi kedua ini bertujuan untuk menjelaskan secara singkat akar permasalahan timbulnya perbedaan antara pendukung metode kualitatif dan kuantitatif. Diharapkan setelah mengenali secara singkat akar permasalahnnya, kita akan lebih arif dan lebih dapat menempatkan masalah ini secara proposional dan terhindar dari pedebatan sia-sia. 

Setelah materi ini dianggap cukup, kita akan kembali melanjutkan materi pertama seputar pengamatan kita terhadap dunia ril. Lalu, setelah itu kita akan menyajikan materi penelitian kualitatif dan kuantitatif secara terpisah atas alasan metodologis. Perlu diingatkan, bahwa kajian penelitian kuantitatif akan diintegrasikan dengan penguasaan aplikasi SPSS untuk statistik dasar dan penelitian kualitatif akan diintegrasikan dengan penguasaan aplikasi Nvivo.

Secara filosofis, kecenderungan penelitian kuantitatif berakar dari pandangan dunia dalam melihat hubungan antara obyek dan subyek. Apakah kebenaran bersumber dari obyek atau subyek yang mengalaminya. Apabila kebenaran bersumber dari obyek, maka penetapan kriteria kebenaran mesti berdasakan pada kondisi obyektif sesuatu yang dialami. Sebaliknya, apabila kebenaran berasal dari subyek yang mengalami, maka penetapan akhir kebenaran sesuatu harus berdasarkan pada penilaian subyek yang mengalami.

Pada tataran pendekatan penelitian, kedua pandangan filosofis tersebut terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan penetapan kebenaran pada hasil pengukuran secara obyektif dengan instrumen statistik dan kelompok yang menekankan penetapan kebenaran pada hasil laporan pengalaman subyek penelitian secara verbal.

Kecendungan kelompok pertama banyak dianut oleh pada sosiologis dan kecenderungankedua banyak dianut oleh para antropologis.

Secara metodologis, kelompok pertama memakai pendekatan keterukuran (measures) dan kelompok kedua cenderung menolak asumsi keterukuran.Karena itu, kelompok pertama lebih mengutamakan pemakaian pengukuran statistis dan kelompok kedua lebih mengutamakan informasi verbal dari pada angka statistik.

Secara politis, kelompok pertama banyak dikritik atas kecenderungan oversimplikasi atas fenomena sosial dengan model statistik; seakan-akan dipaksakan untuk menyamakan antara fenomena sosial dan alam. 

Padahal, fenomena sosial jauh lebih kompleks, dinamis dan cenderung mustahil untuk diprediksi. Sebaliknya, kelompok kedua dikritik karena cenderung tidak obyektif dan bias dalam menampilkan fenomena sosial sehingga teori keilmuan yang memiliki asumsi keberaturan (consistency) tidak dapat dipenuhi. Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, menolak kontrol fenemena sosial lewat pengukuran secara statistik. Angka-angka tidak mungkin dapat mengakomodasi kompleksitas fenemena sosial.

Menanggapi perdebatan seperti ini, saya lebih cenderung berpendapat bahwa perdebatan seperti ini tidak terlalu berpihak pada pengembangan ilmu pengetahuan apabila dilakukan secara tidak proporsional. Saya memiliki asumsi kuat bahwa perdebatan seperti ini sering muncul lebih banyak dipengaruhi kepentingan ideologis dan ekonomis dari pada kepentingan keilmuan. 

Contoh kasus di Indonesia misalnya, sebagian besar orang-orang yang memiliki latar belakang sains kuat cenderung melihat sebelah mata mereka yang berlatarbelakang ilmu sosial. Sebagai reaksi atas sikap ini, orang-orang yang berlatarbelakang sosial menemukan tempat berlindung dalam pendekatan kualitatif antropologis yang tidak membutuhkan kemampuan matematis dan statistis, tapi dibubuhi dengan argumen pseudo-rasional. 

Kecenderungan ini sudah terbentuk sejak kita masuk bangku sekolah, khususnya pada tingkat SMU. Perbedaan semakin kuat saat masuk bangku perguruan tinggi dan terus meningkat setelah terlibat dalam masyarakat sesuai dengan latar belakang ilmu masing-masing. Untuk memenangkan kepentingan ekonomi, politik dan sosial dalam bidang masing-masing, perseteruan antara kedua kubu semakin kuat. Kelompok ilmu-ilmu eksakta cenderung meremehkan kemampuan kelompok ilmu-ilmu sosial dan spirit negatif ini terbawa-bawa sampai pada perebutan pengaruh.

Sebenarnya, kalau kita mencoba jujur dan berbuat untuk kepentingan ilmu dan masyarakat, di antara kedua pendekatan tersebut tidak ada yang sepenuhnya benar dan tidak ada pula yang sepenuhnya salah. Masing-masing memiliki titik kekuatan dan kelemahan. 

Kalau ada dua elemen yang kita tahu masing-masing memiliki titik kelemahan dan kekuatan, apa yang kita lakukan? Apakah kita harus memilih salah satunya, membuang dua-duanya, atau memanfaatkan kekuatan kedua-duanya untuk memperoleh hasil yang lebih baik? Saya cenderung mengatakan, kalau bisa, mengapa kita tidak memanfaatkan kedua-duanya? 

Adapun kecenderungan seseorang untuk memakai metode tertentu dalam penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh latarbelakang keilmuan atau training yang mereka dapatkan. Misalnya, saya berlatarbelakang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tapi akhir-akhir ini selalu memakai pendekatan kuantitatif dalam penelitian. Itu bukan karena gak suka atau menyalahkan pendekatan lain, tetapi hanya karena kebetulan latihan penelitian yang saya peroleh mengajarkan itu lebih banyak.

Orang bijak berkata, "Menggunakan banyak kepala selalu lebih baik dari pada satu".

0 comments:

About This Blog

This blog is dedicated to share all about NVivo.

NVivo Forum

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP